";

Pilkada, Panwas dan Pemimpin

  • "Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri."  (Bung Karno)
     
    Pemilihan Wali Kota/Wakil Wali Kota Pekanbaru dan Bupati/Wakil Bupati Kampar akan ditaja pada 2017 nanti. Galibnya sebuah pesta demokrasi selama ini, saat itu akan banyak hal bakal terjadi. Banyak trik dan strategi disiapkan para kandidat dan tim sukses pendukung. Masyarakat pun gegap gempita dalam suasana pesta, gegap gempono dalam suka ria. Pada saat itu, segala hal dapat saja berlaku; politik uang, teror, kampanye hitam, riak sengketa, dan lain sebagainya. Tapi kita berharap semua itu hanya cerita masa lalu.
     
    Sebagaimana diketahui, Pekanbaru dan Kampar merupakan beberapa daerah terdepan di Riau. Segala yang terjadi di Pekanbaru dan Kampar agak berbeda dengan daerah lain. Espektasi masyarakat terhadap berbagai hal lebih tinggi. Apalagi Pekanbaru, karena ia merupakan ibukota Provinsi Riau yang notabene menjadi barometer dari daerah lain. Untuk itu, pelaksanaan pilkada di daerah ini mesti dikelola dengan baik sehingga tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
     
    Indonesia, Provinsi Riau, termasuk Kota Pekanbaru dan Kabupaten Kampar memerlukan pemimpin baru yang tentu saja bakal membawa dua daerah ini menjadi daerah secara ril terdepan di Riau. Mencari pemimpin di sini tentu tidak mudah. Apalagi pemimpin yang dapat membawa banyak perubahan bagi daerah, dan pemimpin yang tidak bergaya “kolonial”. Selain memiliki pengalaman kepemimpinan yang jumawa, memiliki akhlak otonom menjadi penting untuk ditemukan.
     
    Hemat saya, rakyat Indonesia, termasuk Riau ke depan, juga masyarakat Pekanbaru dan Kampar menghendaki pemimpin yang dapat berbuat banyak, bukan pemimpin yang bicara banyak. Yaitu pemimpin yang dapat membangun material dan spiritual masyarakat secara nyata (tidak setakat wacana). Membangun material di sini bukan saja membangun gedung sekolah, jalan-jalan, menghidupkan lampu jalan, mencari investor, membangun kanal sebagai solusi banjir, dan lain sebagainya tapi lebih daripada itu adalah membangun jiwa masyarakat, membangun jiwa aparat, menempatkan posisi aparat bukan berdasarkan kolusi, korupsi dan nepotisme. Pemimpin yang diharapkan ke depan bukan pemimpin yang menyengsarakan orang-orang yang berseberangan dengan pemimpin terpilih, tapi merangkul mereka untuk pembangunan manusia seutuhnya secara bersama. Karena hemat saya, politik itu sejenis permainan, kalau permainan, jika sudah usai, maka semuanya selesai, maka tidak ada dendam.
     
    Pembangunan spiritual di sini bukan spiritual dalam makna seremonial seperti yang terjadi selama ini, tapi bersifat substansial, yaitu membangun jiwa agama dalam masyarakat, mulai dari aparat di pemerintahan, tokoh sosial masyarakat sampai anggota legislatif dan yudikatif itu sendiri. Kalau secara seremonial, mungkin dapat dilakukan dengan hanya banyak membangun rumah ibadah, membantu dana kegiatan di rumah ibadah, memberi insentif lebih kepada para dai, ustaz, pendeta, biksu dan tokoh agama lainnya. Tapi membangun jiwa agama lebih daripada itu, yaitu bagaimana membentuk jiwa atau karakter agama pada masyarakat, tentu saja dimulai dari contoh dan teladan manusia beragama pada sosok sang pemimpin (top leader), setelah itu barulah pembangunan secara seremonial seperti selama ini.
    Sang pemimpin yang dimaksud tidak ditujukan dari lulusan sekolah agama tapi bisa saja sekolah formal biasa, namun dalam menjalani hidup selalu berakhlak dan menjadi panutan masyarakat (berjiwa agama). Yang dalam bahasa Melayu lama disebut “pepat di luar, pepat di dalam, runcing di luar, runcing di dalam. Kuat tempat bergantung, cerdik jadi penyambung lidah, kaya tempat mengadu dan meminta. Orang yang bermata terang dan berdada lapang”.  
     
    Menghasilkan pemimpin menakah yang mampu menjadi payung, penyejuk, bermata tajam, berdada bidang, sang pembawa kesejahteraaan bagi masyarakat tersebut dapat dilakukan oleh banyak pihak secara bersama, mulai dari masyarakat itu sendiri, partai politik, penyelenggara proses demokrasi seperti KPU, Bawaslu dan lembaga lain seperti ormas sosial dan keagamaan.
     
    Demi mencari dan menemukan pemimpin berakhlak, yang rekam jejaknya bersih dari praktik korupsi, kolusi dan nepotisme serta mampu membangun daerah seutuhnya tersebut, maka Tim Seleksi Pengawas Pemilu Kabupaten Kampar dan Kota Pekanbaru kini sedang melakukan penjaringan dan penyaringan Panitia Pengawas (Panwas) bagi putra-putri terbaik untuk dua daerah tersebut, tentu mereka berjiwa nasionalis, pancasilais, yang memiliki integritas, komitmen, motivasi serta memiliki kemampuan komunikasi dalam bekerja tim. Selain itu, mereka hendaknya memiliki kualitas kemampuan komunikasi yang efektif, mampu berorganisasi dengan baik, serta memiliki pengetahuan muatan lokal (kearifan Melayu) yang memadai.
     
    Selain itu, tentu saja mereka harus menguasai pengetahuan kepemiluan, menguasai pengetahuan pengawasan pemilu, menguasai pengetahuan sistem kepartaian, menguasai pengetahuan sistem perwakilan, memiliki skil/pengetahuan manajemen pengawasan pemilu, menguasai masalah pelanggaran pemilu, menguasai masalah sengketa pemilu, dan lain sebagainya.
     
    Dari pengawas pemilu yang terselektif secara baik pada dua daerah tersebut diharapkan mampu mengawal proses pendaftaran pemilih, proses kampanye, proses penghitungan serta penetapan hasil pemilihan pada 2017 nanti. Untuk itu diimbau kepada yang mendambakan Pekanbaru dan Kampar semakin sejahtera di masa datang agar menjadi Panwas.
     
    Dengan menemukan calon pengawas pemilu yang terjaring dan tertapis tersebut, diharapkan sengketa pemilu untuk dua daerah di atas dapat hilang, sekurang-kurangnya dapat berkurang. Sehingga dari pelaksanaan Pilkada Pekanbaru dan Kampar nanti dapat melahirkan pemimpin yang menyejahterakan masyarakat lahir dan batin di masa depan.***
     
    Griven H Putra, Anggota Tim Seleksi Panwas Kampar dan Pekanbaru.
    (Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis)
     
    Sumber : riaupos.co



BACA JUGA OPINI TERBARU LAINNYA