Pengawasan Pencalonan Kepala Daerah
-
Pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak masih enam bulan lagi. Tapi kasak-kusuk pencalonan kepala daerah telah menyita perhatian publik dan menimbulkan “kegaduhan” di berbagai media. Termasuk di Provinsi Riau yang akan melaksanakan pilkada di sembilan kabupaten/kota yakni Kabupaten Siak, Bengkalis, Kepulauan Meranti, Pelalawan, Kuantan Singingi (Kuansing), Indragiri Hulu (Inhu), Rokan Hilir (Rohil), Rokan Hulu (Rohul) dan Dumai. Kondisi ini tentu sesuatu yang wajar sebagai konsekuensi dari pengejawantahan demokrasi. Negara kita memang memberikan jaminan kebebasan kepada setiap warga negara untuk memilih dan dipilih.Sesuai dengan UU Nomor 1 Tahun 2015 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 8 Tahun 2015 Pasal 39, Pencalonan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (masing masing dengan calon wakilnya) dapat melalui dua jalur. Pertama, melalui jalur partai politik atau gabungan partai politik. Ketentuannya harus memenuhi 20 persen dari jumlah kursi di DPRD atau 25 persen dari total perolehan suara pada pemilu legislatif 2014. Kedua, melalui jalur perseorangan atau yang jamak disebut dengan calon independen. Ketentuannya harus memenuhi syarat dukungan 6,5 persen sampai 10 persen, tergantung jumlah penduduk di suatu kabupaten/ kota. Untuk masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Riau, berkisar antara 7,5 persen sampai 8,5 persen.Untuk melaksanakan regulasi pilkada tersebut, peraturan teknisnya juga sudah diatur dalam Peraturan KPU (PKPU) Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tahapan, Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati dan atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota. Di situ dapat kita baca bahwa sebelum pemungutan dan penghitungan suara, didahului dengan tahapan pencalonan, kampanye dan masa tenang.Komisi Pemilihan Umum sudah menetapkan tahapan syarat dukungan pasangan calon perseorangan, dengan sub tahapan mulai dari pengumuman penyerahan syarat dukungan sampai dengan rekapitulasi di kabupaten/kota adalah dari tanggal 24 Mei hingga 19 Juli 2015. Sedangkan pendaftaran calon, baik dari perseorangan maupun yang berasal dari partai politik juga sudah dijadwalkan, yaitu mulai tanggal 26 Juli hingga 28 Juli 2015.Dari perspektif pengawasan, pencalonan melalui jalur perseorangan ini tentulah memiliki titik rawan pelanggaran. Dalam proses mendapatkan dukungan, tim kampanye calon, atau tim sukses calon perseorangan acap kali menempuh jalan pintas dengan mengumpulkan fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) tanpa bertemu langsung dengan orangnya. Fakta yang sering terjadi adalah fotokopi KTP itu diperoleh melalui jalur tidak patut melalui kerja sama oknum pegawai kantor pemerintah atau lembaga swasta lain yang kemudian dibuatkan surat dukungan dengan memalsukan tanda tangan nama orang yang tertera di KTP tersebut.Proses jalan pintas seperti ini tentulah melanggar hukum. Karena itu merupakan tindak pidana pemilu berupa pemalsuan tanda tangan. Hal ini bisa terjadi ketika seorang warga negara yang diklaim sebagai pendukung calon tertentu tetapi yang bersangkutan merasa tidak pernah menyatakan dukungan alias dukungan palsu.Hal ini sudah diatur dalam Undang Undang Nomor 1 Tahun 2015 pasal 185 yang berbunyi, “setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar atau menggunakan identitas diri palsu untuk mendukung pasangan calon perseorangan menjadi calon gubernur dan calon wakil gubernur, calon bupati dan calon wakil bupati, dan calon walikota dan calon wakil wali kota dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 bulan dan paling lama 36 bulan dan denda paling sedikit Rp12 juta dan paling banyak Rp36juta.Pencalonan melalui partai politik juga tidak terlepas dari kerawanan pelanggaran. Dalam hal ini, sering kita dengar bahwa agar seseorang dapat diusung sebagai calon, yang bersangkutan harus mengeluarkan uang yang tidak sedikit. Pemberian uang itu dibungkus dengan berbagai sebutan, seperti ongkos politik, mahar politik, biaya kampanye, biaya operasional dan terakhir muncul istilah baru yaitu “tanda keseriusan”. Padahal inti sebenarnya sama, yaitu pemberian imbalan atas jasa telah mencalonkan seseorang untuk dapat maju sebagai calon gubernur, bupati dan wali kota (termasuk calon wakilnya).Untuk itu, ke depan perlu diingat, bahwa UU Nomor 1 Tahun 2015 sudah memuat secara tegas tentang larangan “menerima” dan “memberi” imbalan dalam pencalonan kepala daerah. Hal itu ditegaskan dalam pasal 47 pada ayat 1, partai politik atau gabungan partai politik dilarang menerima imbalan dalam bentuk apapun pada proses pencalonan. Selanjutnya dipertegas lagi di ayat ayat 4, Setiap orang atau lembaga dilarang memberi imbalan kepada partai politik atau gabungan partai politik dalam bentuk apapun dalam proses pencalonan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, dan walikota dan wakil wali kota.Sedangkan sanksinya secara tegas dimuat pada ayat 5, dalam hal putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap menyatakan setiap orang atau lembaga terbukti memberi imbalan pada proses pencalonan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, dan walikota dan wakil wali kota maka penetapan sebagai calon, pasangan calon terpilih, atau sebagai gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota dan wakil wali kota dibatalkan.Publik harus berpikir positif bahwa putra putri terbaik daerah yang sedang berusaha mencalonkan diri atau digadang-gadang untuk menjadi calon kepala daerah lima tahun ke depan adalah mereka yang mem punyai niat tulus dan cita cita mulia dalam membangun daerah.Namun yang lebih penting lagi, kita selaku warga negara, harus berperan aktif untuk mengawasi proses pencalonan yang sedang berlangsung agar berjalan sesuai ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku. Dan kita juga berharap pencalonan ini tidak dimanipulasi dan dikotori dengan cara-cara yang melanggar hukum. Semoga.Rusidi Rusdan, S.Ag., M.Pd.IAnggota Bawaslu Provinsi Riau
BACA JUGA OPINI TERBARU LAINNYA