";

Penyelesaian Sengketa Pilkada

  • Perselisihan antara dua pihak atau lebih yang terjadi dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) bisa ditimbulkan dari dua hal. Pertama, perbedaan penafsiran antara para pihak atau ketidakjelasan berkaitan dengan masalah fakta kegiatan, peristiwa, dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan gubernur, bupati dan wali kota. 
     
    Kedua, pengakuan atau pendapat dari salah satu pihak mendapat penolakan, pengakuan yang berbeda, dan/atau penghindaran dari pihak lain. Baik perbedaan penafsiran maupun penolakan, dapat saja terjadi antarpeserta pemilihan maupun antara peserta pemilihan dan penyelenggara pemilihan sepanjang tahapan penyelenggaraan berlangsung. Sengketa antara peserta pemilihan dan penyelenggara pemilihan sebagai akibat dikeluarkannya KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota. 
     
    Pengawas pemilu memiliki kewenangan menyelesaikan sengketa pemilihan, prosesnya dilakukan dengan mempertemukan para pihak, agar diperoleh kesepakatan melalui musyawarah. Hal ini disebutkan pada Pasal 143 Undang-Undang No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota menjadi Undang-Undang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 2015. Pengawas Pemilu yang akan mempertemukan para pihak, pada prinsipnya telah melakukan kajian baik laporan maupun temuan sengketa pemilihan. Dalam mempertemukan para pihak, pengawas pemilu berperan sebagai fasilitator musyawarah, memberikan kesempatan yang sama kepada para pihak menyampaikan permasalahan, tuntutan dan alasan. Jika diperlukan, pengawas pemilu dapat memberikan saran dan masukan kepada para pihak mengenai permasalahan yang disengketakan. 
     
    Musyawarah sengketa pemilihan para pihak selama berlangsung, dapat mencapai sepakat maupun tidak mencapai sepakat. Hasil kesepakatan para pihak diperoleh dari musyawarah mufakat dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Apabila tercapai kesepakatan, maka pengawas pemilu menuangkan hasil kesepakatan dalam berita acara musyawarah penyelesaian sengketa pemilihan. Tetapi apabila tidak tercapai kesepakatan, maka pengawas pemilu membuat keputusan melalui rapat pleno tertutup, dituangkan dalam keputusan penyelesaian sengketa pemilihan bersifat final dan mengikat. Pada dasarnya, sengketa pemilihan dinyatakan selesai apabila musyawarah telah mencapai mufakat dan pengawas pemilu sudah membuat keputusan bersifat final dan mengikat. 
     
    Selanjutnya, permohonan penyelesaian sengketa dinyatakan gugur apabila, pemohon dan/atau termohon meninggal dunia, pemohon atau kuasanya tidak datang dan hadir dalam pertemuan pertama setelah tiga kali dilakukan pemanggilan secara patut dan sah oleh pengawas pemilu. Selanjutnya, termohon telah memenuhi tuntutan pemohon sebelum dilaksanakannya proses penyelesaian sengketa pemilihan, pemohon mencabut permohonannya. 
     
    Sengketa dan Pelanggaran Pemilihan
    Sengketa pemilihan merupakan bagian dari pelanggaran pemilihan. Pasal 135 Undang-Undang No. 1 Tahun 2015 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 2015, menyebutkan laporan pelanggaran pemilihan meliputi pelanggaran kode etik penyelenggara pemilihan diteruskan oleh Bawaslu ke DKPP yaitu:
     
    Pertama, pelanggaran terhadap etika penyelenggara pemilihan yang berpedoman kepada sumpah dan/atau janji sebelum menjalankan tugas sebagai penyelenggara pemilihan. 
     
    Kedua, pelanggaran administrasi pemilihan diteruskan kepada KPU, KPU provinsi, atau KPU kabupaten/kota, adalah pelanggaran terhadap tata cara yang berkaitan dengan administrasi pelaksanaan pemilihan dalam setiap tahapan pemilihan. 
     
    Ketiga, sengketa pemilihan diselesaikan oleh Bawaslu. 
     
    Keempat, tindak pidana pemilihan ditindaklanjuti oleh Kepolisian Negara RI, adalah pelanggaran atau kejahatan terhadap ketentuan pemilihan. 
     
    Pelanggaran pemilihan yang telah disebutkan di atas, baik temuan pengawas pemilu maupun laporan masyarakat, sama-sama melalui proses kajian. Perbedaan hanya tampak pada mekanisme penyelesaian atau penanganan pelanggaran. Jika sengketa ditempuh melalui musyawarah mufakat, maka pelanggaran lainnya (kode etik, administrasi dan tindak pidana pemilihan) dilakukan klarifikasi meminta keterangan dari pelapor dan terlapor. Selepas klarifikasi meminta keterangan, pengawas pemilu melakukan kajian dugaan pelanggaran, kemudian mengeluarkan surat penerusan dan status laporan. 
     
    Kesiapan Struktur Pengawas Pemilu 
    Pada 12 Mei 2015 lalu, pengawas pemilihan (Panwas) untuk pilkada di sembilan kabupaten/kota di Riau sudah dilantik. Panwas juga sudah mendapatkan pembekalan berbagai materi agar semakin siap melakukan tugas, wewenang, dan kewajiban. Seperti prinsip-prinsip pemilu demokratis, struktur organisasi pengawas pemilu, pemetaan potensi pelanggaran dan fokus pengawasan, penyusunan teknik pengawasan, prosedur penindakan pelanggaran dan tindak pidana pemilihan, kajian penanganan pelanggaran, penyelesaian sengketa pemilihan dan sebagainya. 
     
    Koordinasi dengan stakeholders menjadi tanggung jawab lanjutan yang harus dilakukan oleh Panwas. Selain kembali memastikan kesiapan anggaran pengawasan pemilihan, juga kesiapan sekretariat pendukung dari pemerintah kabupaten/kota setempat. Sejauh ini, hasil koordinasi yang dilakukan sebagai tindaklanjut pembekalan yang didapat, sudah mulai tampak membuahkan hasil. Panwas kabupaten/kota sudah ada yang menandatangani NPHD (Nota Perjanjian Hibah Daerah). Menyusul kerja berikutnya, melakukan rekrutmen Panwas kecamatan. Akhirnya, selamat berjuang panwas kabupaten/kota terpilih. Dari Bawaslu kita selamatkan pemilu Indonesia. 
     
    Oleh : Fitri Heriyanti, S.IP., M.Si
    Anggota Bawaslu Provinsi Riau



OPINI TERKAIT LAINNYA :